Rabu, 30 Maret 2011

KARAKTERISASI SURIMI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Laporan Praktikum Ke-2 Asisten: Anggi Novriani

M.K Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan

KARAKTERISASI SURIMI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Suhana Sulastri (C34070078)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

2 April 2009

ABSTRAK

Ikan nila merupakan salah satu anggota dari famili Cichlidae yang memiliki bentuk tubuh bilateral simetris dengan posisi mulut terminal yang dapat disembulkan, tidak memilki sungut, dan memiliki linea lateralis lengkap terputus. Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila antara lain toleran terhadap lingkungan, pertumbuhannya cepat, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air. Karakterisasi ikan dan surimi ikan nila meliputi morfometrik, rendemen, prroksimat, dan pembuatan surimi. Morfometrik ikan nila yang diamati antara lain bobot total rata-rata ikan nila sebesar 162.21 g, panjang total rata-rata ikan nila sebesar 20.07 cm dan panjang baku rata-rata ikan nila sebesar 16.38 cm. Bobot total rata-rata diperoleh dari hasil bagi antara bobot total ikan secara keseluruhan dengan jumlah ikan, begitu pula pada panjang total rata-rata dan panjang baku rata-rata. Rendemen daging yang dihasilkan antara lain daging merah sebesar 2.92 % dan daging putih sebesar 24.23%. Pada proses pembuatan surimi, hanya daging putih yang digunakan karena mengandung protein miofibril sehingga tekstur yang daging yang dihasilkan menjadi lebih kenyal. Bobot daging yang dihasilkan secara keseluruhan sebesar 1053 g namun bobot daging yang digunakan dalam proses pembuatan surimi hanya 969 g yang diperoleh dari daging putih saja. Selama pencucian bobot daging berkurang menjadi 589 g pada pencucian pertama dan 489 g pada pencucian kedua sehingga dihasilkan rendemen daging sebesar 0.27% dan rendemen surimi sebesar 0.13%. Produk perikanan memiliki tiga jenis protein termasuk pada nila yaitu protein larut air, larut garam dan tidak larut air maupun garam. Berdasarkan perhitungan terhadap nila diketahui bahwa nila memiliki protein larut air sebesar 2.13% dan protein larut garam sebesar 4.29%. Metode yang digunakan pada percobaan kali ini ialah penghitungan dan pengamatan secara langsung. Bobot ikan dihitung menggunakan timbangan digital, panjang total menggunakan penggaris yang mulai dihitung dari baggian mulut terdepan sampai ujung ekor sedangkan panjang baku dihitung mulai dari ujung mulut terdepan sampai pertengahan batang ekor ikan. Penghitungan rendemen diperoleh dengan cara by difference. Kandungan gizi ikan nila dapat diketahui diketahui dari hasil analisis proksimat yang diperoleh dari literature yang ada. Surimi yang telah mengalami proses pencucian selama dua kali diuji sensoris yang meliputi penampakan, warna, dan tekstur. Berdasarkan hasil analisis dengan memperbandingkan sampel antara ikan nila dan patin dapat diketahui bahwa ikan nila memilki protein larut air dan larut garam yang lebih sedikit daripada ikan patin. Ikan patin memilki protein larut air sebesar 2,24% dan protein larut garam sebesar 6.75%.

Kata Kunci : Ikan nila (Oreochromis niloticus), morfometrik, rendemen, surimi


1. PENDAHULUAN

Bentuk tubuh ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah bilateral simetris, yaitu jika ikan dibelah bagian tengahnya maka akan terbagi menjadi dua bagian yang sama antara sisi kanan dan kiri, bentuk tubuhnya pipih dan perut membesar. Mulut ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai posisi terminal dan dapat disembulkan, tidak memiliki sungut serta memilki linea lateralis lengkap terputus. Ikan nila mempunyai sirip punggung, sirip dubur, dan sirip perut yang masing-masing mempunyai jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip punggung mempunyai lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lunak, sedangkan sirip ekor mempunyai dua jari-jari keras dan enam jari-jari lunak. Sirip punggung berwarna hitam dan sirip dada menghitam, pada sirip ekor terdapat enam buah jari-jari tegak (Suyanto 1994, diacu dalam Febrina 2008).

Ikan nila (Oreochromis niloticus) hidup di waduk, sungai, danau, dan sawah. Pada daerah tropis ikan nila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi sampai ketinggian 500 m di atas permukaan air laut. Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila antara lain toleran terhadap lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya cepat, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air (Suyanto 1994, diacu dalam Febrina 2008).

Klasifikasi ikan nila menurut Suyanto 1994, diacu dalam Febrina 2008 sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Sub-kelas : Acantophterigii

Ordo : Percomorphi

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Bentuk morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada Gambar 1.




Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus)

Sumber : Anonim 2009

Produksi ikan nila di Indonesia mengalami peningkatan 19,91% per tahun, yaitu 46.627 ton pada tahun 2000 menjadi 97.116 ton pada tahun 2004. Ekspor ikan nila pun mengalami peningkatan, yaitu 340,4 ton pada tahun 2000 menjadi 976,8 ton pada tahun 2004 (Radius 2006, diacu dalam Pradana 2008). Survey yang pernah dilakukan menyebutkan konsumen di USA menempatkan ikan nila pada urutan kedelapan jenis ikan yang paling disukai (Soba 2004, diacu dalam Pradana 2008).

Tabel 1. Data produksi perikanan budidaya ikan nila di Indonesia

Tahun

Jumlah (ton)

2001

50.876

2002

60.337

2003

71.947

2004

97.116

2005

148.249

2006

169.390

Sumber : DKP 2007, diacu dalam Pia 2008

2. METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain penggaris, pisau, timbangan digital, kain blacu, meat grinder, baskom, talenan, dan alat bedah sedangkan bahan yang digunakan antara lain es, air, garam, ikan nila (Oreochromis niloticus).

2.2 Prosedur Kerja

Penentuan karakteristik ikan nila meliputi morfometrik, rendemen dan pembuatan surimi. Setiap ikan nila diukur panjang total dan panjang baku menggunakan penggaris, serta berat total yang ditimbang menggunakan timbangan digital. Perhitungan rendemen dilakukan secara by difference, meliputi rendemen daging, kulit, tulang, jeroan, dan insang yang telah dipreparasi. Kemudian tahap terakhir dilakukan pembuatan surimi yang dihasilkan serta melakukan uji sensoris terhadap karakteristik fisik surimi ikan nila, yang meliputi penampkan, warna, dan tekstur.

Ikan nila

Diagram alir penentuan karakteristik ikan dan surimi ikan nila dapat dilihat pada Gambar 2.

Text Box: Kadar air Kadar abu protein Lemak karbohidrat


Gambar 2. Diagram alir penentuan karakteristik ikan dan surimi dari ikan nila (Oreochromis niloticus)

Rendemen daging dan surimi ikan nila dapat dihitung menggunakan rumus:

Rendemen daging= X100%

Rendemen surimi = x 100%

Diagram alir pembuatan surimi ikan nila dapat dilihat pada Gambar 3.




Gambar 3. Proses pembuatan surimi ikan nila

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Ukuran dan berat ikan nila (Oreochromis

niloticus)

Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan terhadap morfometrik ikan nila (Oreochromis niloticus) didapatkan hasil perhitungan terhadap berat total rata-rata nila, panjang total rata-rata, dan panjang baku rata-rata yang disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Ukuran dan berat ikan nila (Oreochromis

niloticus)

Parameter

Nilai±SD

Berat total (g)

162.21±31.02

Panjang total (cm)

20.07±1.32

Panjang baku (cm)

16.38±1.17

Keterangan:data dari 24 sampel

Berdasarkan tabel rata-rata di atas dapat diketahui bahwa kisaran berat total rata-rata ikan nila dari 131.19 g sampai 193.23 g dengan panjang total rata-rata ikan nila dari 18.75 cm sampai 21.39 cm dan panjang bakunya dari 15.21 cm sampai dengan 17.55 cm. Data morfometrik ikan nila pada tabel 2 tidak terlalu jauh berbeda dengan ukuran nila menurut Suyanto 1993, diacu dalam Harti 2008, yaitu ikan nila pada umumnya memilki berat sebesar 107.10 g, panjang total 18.22 cm dan panjang baku sebesar 15.01 g.

3.2 Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis

niloticus)

Analisis proksimat merupakan suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi yang dimiliki oleh suatu bahan. Pada praktikum kali ini tidak dilakukan uji proksimat secara langsung melainkan berdasarkan literatur yang telah ada. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis niloticus) tercantum dalam tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis

niloticus)

Senyawa

Jumlah (%)

Kadar air

79.44

Kadar abu

1.26

Protein

12.52

Lemak

2.57

Karbohidrat

1.26

Sumber : Suyanto 1994, diacu dalam Pradana 2008

Berdasarkan literatur yang terdapat pada tabel 3 dapat diketahui bahwa ikan nila memilki kandungan air yang paling tinggi yaitu sebesar 79.44% kemudian kadar proteinnya sebesar 12.52% sedangkan komposisi terendahnya adalah kadar abu dan karbohidrat sebesar 1.26%. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Shahidi dan Botta 1994, diacu dalam Prawira 2008 bahwa protein merupakan bagian terbesar setelah air pada daging ikan, nilainya diperkirakan mencapai 11-27%. Protein otot ikan dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan berdasarkan kelarutannya yaitu protein miofibril, sarkoplasma dan stroma (Nakai dan Modler 1999, diacu dalam Prawira 2008). Komposisi setiap fraksi antara lain miofibril sebesar 65-75%, sarkoplasma sebesar 20-30% dan stroma 1-3% (Suzuki 1981, diacu dalam Prawira 2008).

Tingginya kandungan protein miofibril tersebut berperan penting dalam koagulasi dan pembentukan gel ketika daging ikan diolah (Suzuki 1981, diacu dalam Prawira 2008). Penyusun utama protein myofibril ialah aktin dan myosin. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel aktomiosin pada ikan adalah konsentrasi protein, pH, kekuatan ion, waktu dan suhu pemanasan. Penurunan PH dan peningkatan konsentrasi protein meningkatkan kekuatan gel aktomiosin (Zayas 1997, diacu dalam Febrina 2008).

Protein sarkoplasma pada ikan jauh lebih stabil dibandingkan dengan protein miofibril (Eskin et al.1971, diacu dalam Febrina 2008). Protein ini larut air dan secara normal ditemukan di plasma sel dan berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolism anaerob sel-sel otot dan pembawa oksigen (Eryanto 2006, diacu dalam Febrina 2008).

Menurut Muchtadi et al 1992, diacu dalam Trisnawaty 2008 bahwa adanya variasi dalam komposisi baik jumlah maupun komponen penyusunnya disebabkan karena faktor alami dan biologis. Faktor biologis yaitu faktor yang berasal dari individu ikan itu sendiri seperti jenis atau golongan ikan, umur, dan jenis kelamin. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berasal dari luar ikan itu sendiri seperti daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia.

Menurut Stansby dan Olcott 1963, diacu dalam Trisnawaty 2008, penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya

Golongan ikan

Kadar lemak (%)

Kadar protein

Lemak rendah-protein sedang

<5

15-20

Lemak sedang- protein sedang

5-15

15-20

Lemak tinggi- protein rendah

>5

<5

Lemak rendah- protein tinggi

<5

>20

Lemak rendah- protein rendah

<5

<15

Sumber : Stansby dan Olcott 1963, diacu dalam Trisnawaty 2008

Berdasarkan tabel 4 di atas maka dapat diketahui bahwa ikan nila termasuk golongan ikan yang memilki lemak rendah dan protein rendah.

3.3 Rendemen daging dan surimi ikan nila

(Oreochromis niloticus)

Rendemen ikan dapat diartikan sebagai rasio berat antara daging dan berat ikan utuh (Hadiwiyoto 1993, diacu dalam Afriwanty 2008). Penghitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyak dari tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan. Rendemen yang dihitung pada praktikum kali ini ialah rendemen daging merah, daging putih dan surimi yang hasilnya disajikan dalam tabel 5 dan tabel 6.

Tabel 5. Rendemen daging ikan nila (Oreochromis

niloticus)

Rendemen

Nilai (%)

Daging merah

2,92

Daging putih

24,23

Tabel 6. Berat daging dan surimi ikan nila

(Oreochromis niloticus)

Berat

Nilai (gram)

Fillet Skinless (b)

1053

Daging Pencucian 1

589

Daging Pencucian 2 (c)

489

Bobot total ikan (a)

3893

Rendemen daging : (b/a) = x 100%

= 0,27%

Rendemen Surimi : (c/a) = X 100%

= 0,13%

Berdasarkan perhitungan terhadap nilai rendemen daging ikan nila yang terdapat dalam tabel 5 dapat diketahui bahwa ikan nila lebih banyak memilki daging putih yaitu sebesar 24.23% daripada daging merah yang hanya ada sekitar 2.92%. Hal ini menandakan bahwa ikan nila memilki kadar protein yang lebih tinggi dan kadar lemak lebih rendah (Stansby dan Olcott 1963, diacu dalam Trisnawaty 2008). Selain itu, persentase daging merah tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa ikan nila hanya sedikit mengandung protein sarkoplasma sehingga ikan nila dapat digunakan dalam pembuatan surimi karena hanya mengandung sedikit protein penghambat dalam pembentukan gel. Warna merah pada daging tersebut disebabkan oleh adanya mioglobin yang merupakan bagian dari protein sarkoplasma yang terdiri atas fraksi protein disebut globin dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Begitu pula pada daging putih yang mengindikasikan bahwa nila memiliki kandungan protein miofibril yang cukup tinggi yang berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada surimi atau produk olahan lainnya.

Pada tabel 6 dapat diketahui rendemen daging setelah mengalami fillet skinless sebesar 1053 g namun untuk pembuatan surimi itu sendiri daging yang digunakan hanya daging putih karena banyak mengandung miofibril sebesar 989 g. Setelah pencucian pertama, berat daging berkurang menjadi 589 g dan setelah pencucian kedua berat daging berkurang kembali menjadi 489 g. Hal ini menandakan bahwa semakin banyak pencucian maka rendemen surimi yang diperoleh akan semakin turun. Hal ini disebabkan pada saat proses pencucian dengan air dingin (5-10 ÂșC), komponen daging yang larut dalam air seperti darah, protein sarkoplasma , kotoran dan lemak dapat terlarut bersama air pencucian. Disamping itu, saat proses pemerasan, air yangberada dalam daging giling akan ikut tereduksi, yang menyebabkan berkurangnya bobot daging dari setiap pemerasan (Suzuki 1981, diacu dalam Afriwanty 2008). Penghilangan protein larut air termasuk enzim, hemeprotein dan komponen nitrogen non-protein lainnya dari produk berkisar 50-60% (Shahidi dan Botta 1994, diacu dalam Afriwanty 2008). Peningkatan frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin banyak komponen-komponen yang terlarut bersama air dengan pencuci seperti protein sarkoplasma, darah, pigmen dan juga lemak yang terbuang selama pencucian (Venugopal et al. 1992, diacu dalam Afriwanty 2008). Proses pencucian juga mampu meningkatkan nilai derajat putih pada surimi. Suzuki 1981, diacu dalam Afriwanty 2008 menyatakan bahwa proses pencucian selain berfungsi untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang menganggu pembentukan gel juga untuk mendapatkan warna putih. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Astawan et al. 1996, diacu dalam Afriwanty 2008 bahwa surimi yang diperoleh melalui tahap pencucian memberikan warna yang lebih baik.

Perbedaan dalam penggunaan bahan baku yang akan digunakan dalam proses pembuatan surimi menghasilkan penampakan surimi yang berbeda pula. Pada shift 1, bahan baku yang digunakan adalah ikan nila sedangkan pada shift 2 menggunakan ikan patin. Tekstur surimi yang dihasilkan cukup kenyal dengan penampakan yang semakin putih cemerlang dengan penambahan frekuensi pencucian begitu pula pada air pencuci. Sedangkan, pada ikan patin memiliki tekstur yang lebih elastis karena memilki kandungan PLG nya yang lebih banyak daripada nila tapi secara keseluruhan penampakan ikan patin hamper sama dengan ikan nila.

Berdasarkan warnanya daging ikan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu daging merah (gelap) dan daging putih. Proporsi kedua jenis daging tersebut pada ikan berbeda tergantung jenis dan spesies ikan. Daging merah terdapat di sepanjang tubuh bagian saping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat pada hamper seluruh bagian bagiantubuh. Otot terang (daging putih) mempunyai kadar protein yang lebih tinggi dan kadar lemak llebih renda dibandingkan dengan otot gelap )daing merah) (Stansby dan Olcott 1963, diacu dalam Trisnawati 2008).

Surimi dengan mutu yang paling baik adalah surimi dengan derajat putih paling tinggi, paling bersih, dan kekuatan gelnya paling tinggi (Mitchell 1986, diacu dalam Trisnawati 2008). Menurut Winarno 1993, diacu dalam Trisnawati 2008, mutu surimi yang paling baik adalah surimi yag berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel.

Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi. Pencucian bertujuan untuk menghjilangkan materi yang larut dalam air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam inorganic (Ca2+ dan Mg 2+), dan senyawa organic berberat molekul rendah seperi trimetilamin oksida (TMAO. Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama proses pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian selain dapat meningkatkan gel urimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki 1981, diacu dalam Afriwanty 2008). Kekuatan gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian. Dengan pencucian berulang (maksimal 3 kali) akan meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi dan mencegah deanturasi protein miofbril surimi selam penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992, diacu dalam Afriwanty 2008).

Pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan ikan 3:1 akan meningkatkan keuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan protein myofibril dan menurunkan prtoen sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12 menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan protein yang terrkstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1; dan 6:1), karena jika terlalu lama daging ikan menyerap air dalam jumlah yang besar dan akn menyulitkan pada saat pembuangan air/pengepresan (Toyoda et al. 1992, diacu dalam Afriwanty 2008). Kisaran suhu yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10 C (Suzuki 1081, diacu dalam Afriwanty 2008).

Daging lumat ikan ialah daging ikan yang dihaluskan atau digiling sampai lembut. Penghalusan ditujukan untuk memudahkan pencampurannya dengan bahan lainnya. Ikan yang diproses menjadi lumat menghasilkan rendemen yang lebih besar dibanding ikan yang diproses menjadi bentuk surimi. Daging lumat tidak mengalami proses pencucian atau pengepresan sehingga kandungan di dalamnya tidak ikut terbuang. Selain rendemen yang lebih besar, daging lumat ikan memilki kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan bentuk surimi. Hal itu disebabkan adanya proses pencucian dan pengepresan pada pembuatan surimi sehingga sebagian komponen daging misalnya protein sarkoplasma dan lemak ikut larut dan terbuang bersama air. Semakin banyak frekuensi pencucian yang digunakan maka kadar air daging lumat akan semakin meningkat. Peningkatan kadar air ini dapat dijelaskan oleh adanya air yang masuk ke dalam jaringan karena terjadi penggelembungan protein myofibril akibat pengaruh ion Cl- dari garam NaCl. Ion Cl- ini akan berikatan dengan filamen yang bermuatan positif sehingga ruang antar filament akan luas, kemudian air akan masuk dan terjebak di dalamnya (Istihatuti 1992, diacu dalam Rahmawaty 2008). Menurut Lee 1984, diacu dalam Rahmawaty 2008 bahwa kadar air maksimum untuk dagin ikan lumat sebaiknya berkisar antara 78-80%.

Surimi merupakan produk antara yang digunakan dalam berbagai macam produk, mulai dari produk tradisional kamaboko sampai surimi seafood yang dikenal sebagai shellfish substititutes (Park dan Morrisey 2000, diacu dalam Febrina 2008). Produksi komersial surimi dibuat dengan memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang diikuti proses pencucian (1-3 kali) menggunakan air dan larutan garam. Kemudian dilakukan pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectan untuk mencegah denaturasi protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku (Xiong 2000, diacu dalam Febrina 2008).

3.4 Kandungan PLA dan PLG

Protein merupakan senyawa kimia utama dan merupakan bagian terbesar dari daging ikan. ). Protein ikan merupakan komponen terbesar dalam jumlahnya setelah air dan merupakan bagian yang sangat berguna bagi manusia. Protein ikan bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan (Geogievrt al. 2008, diacu dalam Nianda 2008). Protein daging ikan terbagi menjadi 3 macam yaitu protein yang larut air atau protein sarkoplasma , protein larut garam atau myofibril dan protein yang tidak larut air dan garam atau protein stroma. Analisis yang dilakukan terhadap perhitungan PLA dan PLG dinyatakan dalam tabel 7.

Tabel 7. Kandungan PLA dan PLG

Senyawa

Jumlah (%)

PLA

2,13

PLG

4,29

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa ikan nila lebih banyak mengandung protein miofibril atau protein yang larut dalam garam sebesar 4.29% daripada protein larut air atau sarkoplasma yang hanya ada sebesar 2.13% dengan hasil tertinggi ada pada protein stroma sebesar 6.1%. Namun hasil ini lebih kecil daripada kandungan PLA dan PLG yng dimiliki oleh ikan patin. Ikan patin memilki kadar PLA sebesar 2.24% dan kadar PLG sebesar 5.54% serta kadar stroma sebesar 6,75%. Komposisi kimia protein larut air dan protein larut garam tergantung dari ukuran dan umur panen ikan yaitu ukuran patin yang lebih besar daripada nila mengakibatkan kandungan PLA dan PLG nya juga lebih tinggi, spesies, jenis kelamin, dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan (Nianda 2008).

Protein larut air yang dihasilkan memilki nilai yang lebih kecil daripada nilai protein. Hal ini terjadi karena protein larut air yang yang terhitung hanya protein sarkoplasma tanpa mengikutsertakan myofibril. Protein larut air (PLA) yaitu protein sarkoplasma yang bersifat dapat menghambat proses pembentukan gel. Pengukuran PLA bertujuan untuk mengetahui kuantitas persentase protein sarkoplasma yang terdapat dalam daging ikan ikan agar dapat dihilangkan, karena sifatnya yang dapat menghambat pebentukan gel. Semakin banyak pencucian, maka nilai PLA semakin menurun (Rahmawati 2005).

Protein larut garam yaitu protein miofibril (kontraktil) yang terdiri dari aktin, miosin,dan protein regulasi (tropomisin, troponin, dan aktinin). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel. Pengukuran PLG penting dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam proses pementukan gel diakibatkan terjadinya gregasi antara aktin dan myosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981, diacu dalam Rahmawati 2005). Protein miofibril larut dalam garam, sehingga untuk mendapatan efek elastisitasnya diperlukan penambahan garam 3%. Penambahan garam ini bertujuan untuk menghilangkan air dari daging ikan yan telah dilumatkan (Dirjen Perikanan Tangkap 1990, diacu dalam Sedayu 2004). Fungsi yang paling utama dalam penambahan garam ini adalah untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting untuk pembentukan jeli yang kuat. Selain itu, juga digunakan sebagai bumbu atau penyedap rasa da penambah aroma, tapi jika digunakan dengan kadar yang cukup tinggi dapat mengubah citarasa makanan. Protein miofibril dapat ikut terlarut dalam air pencuci seiring dengan frekuensi pencucian yang berulang disebabkan karena terjadinya degradasi rantai miosin.

Menurut Astawan et al. 1996, diacu dalam Rahmawati 2005 , nilai PLG untuk ikan air tawar cenderung menurun dengan semakin banyaknya pencucian. Hal ini diduga karena jumlah PLG dalam daging ikan air tawar lebih sedikit jika dibandingkan dengan ikan air laut, sehingga dengan smakin banyknya pencucian, maka semakin menurun pula nilai PLG-nya. PLG dalam jumlah sedikit dan kurang stabil memungkinkan untuk berikatan dengan air pencuci.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Ikan nila merupakan salah satu anggota dari famili Cichlidae yang memiliki bentuk tubuh bilateral simetris dengan posisi mulut terminal yang dapat disembulkan, tidak memilki sungut, dan memilki linea lateralis lengkap terputus. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat diketahui karakteristik ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berupa ciri morfometrik yaitu ciri yang menjelaskan ukuran bagian tubuh ikan seperti yang berupa panjang rata-rata total nila ialah 20.07 cm, berat rata-rata total 162.21 g, dan panjang baku rata-rata ialah 16.38 cm. Kandungan gizi pada ikan nila dapat diketahui dengan analisis proksimat namun pada praktikum kali ini tidak dilakukan analisis proksimat melainkan dari literatur yang telah ada yaitu kadar air nila sebesar 79.44%, kadar abu sebesar 1.26%, protein 12.52%, lemak 2.57% dan karbohidrat 1.26%. Rendemen merupakan bagian yang dapat dimanfaatkan dari suatu komoditi. Rendemen yang dihasilkan dari rata-rata 24 sampel ikan nila terdiri dari daging merah 2.92% dan daging putih 24.23%. Pada proses pembuatan surimi yang dilakukan dengan pencucian sebanyak dua kali telah membuat rendemen daging berkurang yaitu rendemen daging total sebanyak 1053 g namun dalam pembuatan surimi hanya daging putih saja yang diperlukan sehingga daging yang digunakan hanya 989 g dan akibat pencucian pertama dengan air sehingga berat daging menjadi 589 g dan akibat pencucian kedua dengan garam berat daging menjadi 489 g sehingga diperoleh hasil rendemen daging 0.27% dan rendemen surimi 0.13%. Perbandingan terhadap nilai PLA dan PLG ikan nila dan patin dapat diketahui bahwa ikan nila memilki kandungan PLA dan PLG yang lebih kecil yaitu 2.13% dan 4.29% daripada kandungan PLA dan PLG yang dimilki oleh ikan patin yaitu 2.24% dan 5.54%.

4.2 Saran

Surimi sebagai produk antara (intermediet) yang digunakan dalam berbagai macam produk, mulai dari produk tradisional kamaboko sampai surimi seafood memerlukan karakteristik bahan baku yang sesuai sehingga daya simpannya semakin lama yaitu jenis ikan yang digunakan sebaiknya berdaging putih, tidak terlalu amis, serta mempunyai kemampuan dalam pembentukan gel. Selain itu, selama proses pembuatan surimi faktor utama yang perlu diperhatikan adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan serta pH.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar