Rabu, 30 Maret 2011

ALKALI TREATED COTTONII (ATC)

Praktikum ke-2 Hari/Tanggal : Sabtu/ 6 Maret 2010

MK. Teknologi Industri Tumbuhan Laut Dosen : Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si

ALKALI TREATED COTTONII (ATC)

Small Logo IPB Hitam

Asisten :

Muhamad Idris Wahyu Ramadhan

Made Suhandana Rachmawati Rusydi

Disusun Oleh :

Suhana Sulastri C34070078

Kelompok 6

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya yang cukup besar baik yang alami maupun untuk budidaya. Saat ini Indonesia masih merupakan eksportir penting di Asia. Sayangnya rumput laut masih banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah yaitu berupa rumput laut kering, sedangkan hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, karaginan dan alginat masih banyak diimpor dengan nilai yang cukup besar. Data statistik DKP (2006) dalam Sukri (2006) juga menunjukan bahwa telah terjadi penurunan jumlah ekspor rumput laut dari tahun 1999-2002. Jumlah ekspor rumput laut di Indonesia dari tahun 1999-2002 mengalami penurunan nilai ekspor yaitu dari 16.785.000 US $ dengan volume ekspor 25.084 ton pada tahun 1999 turun menjadi 15.785.000 US $ dengan volume ekspor 28.874 ton pada tahun 2002. Hal ini diduga masyarakat luar negeri menginginkan suatu komoditas yang berbahan dasar rumput laut yang memiliki nilai ekonomis dan fungsional yang lebih dibandingkan dengan rumput laut itu sendiri. Untuk itu diperlukan penanganan pasca panen untuk dapat meningkatkan daya gunanya sehingga lebih bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mempertahankan kesegaran atau mengawetkannya dalam bentuk asli maupun olahan sehingga dapat tersedia sepanjang waktu sampai ke tangan konsumen dalam kondisi yang dikehendaki konsumen. Salah satu produk olahannya adalah tepung ATC (Andriani 2006).

Tepung ATC (Alkali Treated Cottonii) merupakan hasil produk olahan rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan karaginan murni. Selain itu tepung ATC juga diekspor dalam rangka meningkatkan perekonomian Indonesia karena proses lebih lanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan penstabil dalam industri makanan ternak untuk pasaran Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik. Tingginya manfaat dan peranan ATC sehingga perlu dipelajari proses pembuatan dan pengolahan rumput laut menjadi tepung ATC.

1.2 Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari proses-proses pembuatan dan pengolahan rumput laut menjadi tepung ATC.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma cottonii

Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae). Eucheuma cottonii adalah rumput laut penghasil karaginan. Jenis karaginan yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii adalah kappa karaginan. Rumput laut Eucheuma cottonii memiliki ciri-ciri fisik seperti thallus silindris, permukaan licin, cartilogineus (lunak seperti tulang rawan), warna hijau, hijau kuning, permukaan licin, abu-abu dan merah. Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun meingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar sering berdekatan ke daerah asal (pangkal ) (Atmadja et al. 1996). Selain itu, rumput laut Eucheuma cottonii tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh berbentuk rumpun yang rimbun dengan ciri-ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996).

Eucheuma cottonii tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal), melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa batu karang mati, batu karang hidup atau cangkang moluska. Umumnya mereka tumbuh dengan baik di daerah terumbu karang (reef) karena tempat ini beberapa persyaratan untuk pertumbuhan terpenuhi, antara lain faktor kedalaman, suhu, cahaya, subsrat dan gerakan air (Atmadja et al. 1996).

Adapun klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Anggadiredja et al. (2008) sebagai berikut :

Kigdom : plantae

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Family : Solieriaceae

Genus : Eucheuma

Spesies : Eucheuma cottonii

Gambar 1 : E. cottonii

Sumber : Atmadja et al. (1996)

2.2 Alkali Treated Cottonii (ATC) dan Syarat Mutu ATC

Rumput laut (Algae) selain diolah dalam bentuk kering juga dapat diolah menjadi bentuk tepung, seperti tepung agar-agar dan tepung ATC (Alkali Treated Cottonii) yang digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan karaginan murni. Jenis rumput laut yang digunakan dalam pembuatan tepung ATC adalah rumput laut Eucheuma. Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting sebagai penghasil ekstrak karagenan. Kadar karagenan dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara 54%-73% tergantung pada jenis dan lokasinya. Eucheuma spinosum dan Eucheuma cottonii hasil budidaya di Indonesia, kebanyakan untuk komoditas ekspor. Tepung ATC (Alkali Treated Cottonii) merupakan hasil produk olahan rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan karaginan murni. Selain itu tepung ATC juga diekspor dalam rangka meningkatkan perekonomian Indonesia karena proses lebih lanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan penstabil dalam industri makanan ternak untuk pasaran Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik (Andriani 2006). Ada tiga tipe dan cara pembuatan ATC, yaitu ATC Low Alkali, ATC Chips, dan Seaweed Flour atau Semi Refined Carrageenan (SRC) (Noor et al. 1990 diacu dalam Sukri 2006). Adapun komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Rumput Laut Kappaphycus alvarezii

Komposisi

Jumlah

Air (%)

13.90

Protein (%)

2.69

Lemak (%)

0.37

Serat Kasar (%)

0.95

Abu (%)

17.09

Mineral

Ca (ppm)

Fe (ppm)

Cu (ppm)

Pc (ppm)

22.39

0.121

2.763

0.040

Vitamin B1 (Thiamin) (mg/100gr)

0.14

Vitamin B2 (Riboflavin) (mg/100gr)

2.7

Vitamin C (mg/100gr)

12

Karagenan (%)

61.52

Agar

-

Sumber: Istini et al. (1985)

Proses pengolahan rumput laut menjadi ATC pada prinsipnya sangat sederhana, yaitu dengan merebusnya dalam larutan KOH pada suhu 85oC selama 2-3 jam. Rumput laut kemudian dinetralkan kembali dengan pencucian berulang-ulang, setelah itu dipotong-potong dan dikeringkan sehingga diperoleh ATC yang berbentuk chips. Perebusan rumput laut dalam larutan alkali dimaksudkan untuk meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasaknya sehingga tidak mudah larut menjadi pasta, dan untuk meningkatkan kekuatan gel dari karaginan tersebut. Selain digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan karaginan murni, ATC juga diproses lebih lanjut sebagai bahan pengikat dan penstabil dalam industri pakan ternak untuk pasar Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik (BRKP 2003 diacu dalam Sukri 2006).

2.3 Semi Refine Carragenan

Rumput laut dapat diolah menghasilkan karaginan dengan cara tertentu. Karaginan yang dihasilkan dimanfaatkan dalam berbagai industri, terutama industri makanan dan kosmetika. Semi-refined carrageenan (SRC) merupakan salah satu produk karaginan dengan tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung sejumlah kecil selulosa yang ikut mengendap bersama karaginan. Semi-refined carrageenan (SRC) secara komersial diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii melalui proses ekstraksi menggunakan larutan alkali (Kalium hidroksida/KOH) (Minghou diacu dalam Parwata 2007).

Karaginan semimurni dibuat dengan memanfaatkan proses pemanasan dalam larutan alkali. Kappaphycus alvarezii dipanaskan pada larutan alkali selama 2-3 jam. Jika suhu pemanasan di bawah 80oC, maka rumput laut tidak akan larut dan konversi kappa tidak akan terjadi. Bagian hidroksi dari reagen akan menurunkan jumlah sulfat pada karaginan, meningkatkan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang menyebabkan kekuatan gel karaginan pada rumput laut meningkat. Bagian potasium pada reagen bercampur dengan karaginan untuk membuat gel dan mencegah karaginan larut pada larutan panas. Residu yang masih terlihat seperti rumput laut dicuci beberapa kali untuk menghilangkan alkali dan kotoran yang dapat larut dalam air. Alkali panas dan pencucian akan menghilangkan residu mineral, protein, dan lemak, serta meninggalkan karaginan yang dikonversi dan beberapa residu selulosa dari dinding sel (Bixler dan Johndro 2000 diacu dalam Febrina 2008)

2.4 Pemanfaatan ATC

Tepung ATC (Alkali Treated Cottonii) dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan karaginan murni yang berasal dari jenis rumput laut Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis Eucheuma mengandung carrageenan yang sangat berperan dalam industri makanan dan obat-obatan, yaitu sebagai stabilisator, bahan pengental dan pengemulsi. Selain itu, tepung ATC juga diekspor dalam rangka meningkatkan perekonomian Indonesia karena proses lebih lanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan penstabil dalam industri makanan ternak untuk pasaran Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik (Andriani 2006)..

Salah satu tipe dari ATC, yaitu ATC Chips, biasa digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan seaweed flour. ATC Chips dihancurkan tanpa pemanasan untuk dijadikan tepung. Tepung yang dihasilkan ini memiliki ukuran 40-60 mesh. Selanjutnya seaweed flour dapat diolah menjadi karaginan (Noor et al. 1990 dalam Sukri 2006).

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “ Alkali Treated Cottonii (ATC)” dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 6 Maret 2010, bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Lt.1 Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini diantaranya timbangan digital, blender, kompor listrik, thermometer, saringan nilon 150 mesh, dan gelas ukur. Bahan yang digunakan pada praktikum ini meliputi rumput laut kering jenis Kappaphycus alvarezii, KOH, akudes, HCl 0,2 N, BaCl2, dan H2O2.

3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja Praktikum pembuatan tepung Alkali Treated Cottonii (ATC) dimulai dengan rumput laut kering dicuci bersih dengan akuades. Setelah itu, rumput laut kering tersebut diekstrak dalam larutan KOH 8% (1:20) selama 2-3 jam. Rumput laut yang telah diekstrak, disaring dengan menggunakan nilon 150 mesh dan diambil ampas atau residunya. Residu tersebut kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering, residu tersebut akan berbentuk chips, dan kemudian diblender atau ditepungkan. Diagram alir proses pembuatan ATC ini dapat dilihat pada gambar 2.




Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan ATC

Sumber : BRKP (2003) diacu dalam Sukri (2006)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan hasil praktikum Alkali Treated Cottonii (ATC) dengan perlakuan perendaman bahan baku dalam jenis air yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2. Hasil analisis ATC

Parameter

ATC air tawar

ATC air laut

Rendemen

18,77 %

17,14 %

Kadar air

21,21 %

12,43 %

Kadar abu

12, 68 %

20 %

Kadar sulfat

36,4266 %

22,9673 %

Viskositas

130,19 cps

240,69 cps

Hasil pengamatan pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa rendemen, kadar air dan kadar sulfat ATC air tawar lebih tinggi daripada air laut sedangkan kadar abu dan viskositas itu lebih tinggi pada ATC air laut daripada ATC air tawar.

4.2 Pembahasan

Rendemen suatu produk sangat penting dihitung untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perlakuan maupun pengolahan terhadap hasil akhir suatu produk. Pada pembuatan tepung ATC ini, tinggi rendahnya rendemen juga ditentukan oleh penanganan pada saat penggilingan. Biasanya pada proses ini apabila tidak ditangani dengan baik maka banyak tepung yang terbuang karena ukuran butiran yang kecil dan halus sehingga mudah keluar akibat tiupan udara melalui celah-celah yang terdapat pada sepanjang aliran tepung sampai pada kemasan (Andriani 2006). Rendemen tepung ATC air tawar (18,77 %) tidak berbeda nyata dengan rendemen ATC air laut (17,14 %). Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh pengeringan yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kandungan air dalam bahan. Rendemen semirefine karaginan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies, iklim, metode ekstraksi, waktu pemanenan, dan lokasi budidaya (Chapman dan Chapman 1980 dalam Sukri 2006)

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, keragaman, dan daya tahan bahan pangan (Winarno 1996). Penentuan kadar air suatu bahan pangan perlu dilakukan sebab kadar air suatu bahan pangan dapat mempengaruhi tingkat mutu dari bahan tersebut. Kadar air yang tinggi perlu dikurangi agar terhindar dari mikroba, kapang, dan serangga sehingga memperpanjang masa simpannya (Sudiaman 1990 diacu dalam Andriani 2006). Pengeringan merupakan proses pengurangan sebagian kadar air bahan. Kadar air (Moisture Content) adalah berat air yang terdapat pada bahan, dinyatakan dengan persen basis basah (kadar air basah) atau persen basis kering (kadar air basis kering). Kadar air yang diperoleh dari proses pembuatan tepung ATC dengan perendaman air laut sebesar 12,43 % sedangkan air tawar sebesar 21,21 %. Hal ini diduga karena pada proses perendaman dengan air laut terjadi penetrasi molekul-molekul garam ke dalam jaringan thallus rumput laut dan molekul air keluar ke lingkungan akibat tingginya tekanan osmosis di lingkungan (hipertonis). Berbeda halnya dengan rumput laut yang direndam dengan air tawar. Pada rumput laut yang direndam air tawar, air masuk ke dalam jaringan dan diduga terjadi pelepasan molekul-molekul garam ke lingkungan akibat perbedaan tekanan osmosis (Sukri 2006). Hal inilah yang menyebabkan produk ATC yang berbahan dasar rumput laut dengan perendaman air tawar memiliki kadar air yang lebih tinggi yaitu sebesar 21,21 %.

Abu merupakan zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik, kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pembuatannya (Sukri 2006). Kadar abu ATC air laut sebesar 20 % sedangakan kadar abu air tawar lebih rendah yaitu 12,68 %. Hal ini diduga karena pada saat proses perendaman dengan air laut, terjadi penetrasi molekul-molekul garam air laut ke dalam jaringan thallus rumput laut. Molekul-molekul garam tersebut diduga tidak hilang saat proses pengekstrakan. Hal inilah yang menyebabkan kadar abu pada ATC yang berbahan dasar rumput laut yang direndam air laut memiliki kadar abu yang lebih tinggi yaitu 20 %. Berbeda halnya dengan rumput laut yang direndam dengan air tawar. Pada rumput laut yang direndam air tawar, air masuk ke dalam jaringan dan diduga terjadi pelepasan molekul-molekul garam ke lingkungan akibat perbedaan tekanan osmosis. Hal inilah yang menyebabkan produk ATC yang berbahan dasar rumput laut dengan perendaman air tawar memiliki kadar abu yang lebih kecil, yaitu 12,68 %.

Viskositas merupakan faktor kualitas penting untuk zat cair dan semi cair (kental), hal ini merupakan ukuran dan kontrol untuk mengetahui kualitas produk akhir (Joslyn 1970 diacu dalam Wadli 2005). Menurut Ostwal (1992) diacu dalam Wadli (2005) viskositas hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya konsentrasi dan suhu. Menurut Anggadiredja (2000), semakin tinggi suhu pengeringan nilai viskositasnya semakin tinggi. Hal ini diduga bahwa dengan kenaikan suhu pengeringan akan meningkatkan terbentuknya jumlah ester sulfat sehingga meningkat pula viskositasnya. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa nilai viskositas ATC air laut sebesar 240,69 cps sedangakan nilai viskositas air tawar sebesar 130,19 cps. Tingginya viskositas ATC air laut daripada ATC air tawar diduga disebabkan oleh kandungan air laut yang banyak mengandung elektrolit yang menyebabkan peningkatan viskositas. Viskositas dipengaruhi oleh konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, tipe dan berat molekul (Towle 1973 diacu dalam Sukri 2006). Selain itu, menurut Lutfy (1998) diacu dalam Wadli (2005) garam-garam anorganik pada air tawar juga dapat menurunkan nilai viskositas ATC dengan cara menurunkan tolakan elektrostatik diantara gugus sulfat. Penurunan tolakan elektrostatik diantara gugus sulfat disebabkan oleh kation-kation dari garam-garam anorganik sehingga menurunkan muatan rantai polimer.

Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno 1990 diacu dalam Wadli 2005). Kadar sulfat pada tepung ATC mempengaruhi nilai viskositas dan kekuatan gel. Persentase kadar sulfat ATC air laut lebih rendah (22,9673 %) daripada kadar sulfat air tawar (36,4266 %). Data viskositas dipengaruhi oleh kadar air dan umur panen alga. Peningkatan kadar air dan umur panen alga atau ganggang laut akan menurunkan viskositas ATC. Semakin tinggi kandungan sulfat, kekuatan gelnya semakin rendah tetapi viskositasnya semakin tinggi (Wadli 2005)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Tepung ATC (Alkali Treated Cottonii) merupakan hasil produk olahan rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan karaginan murni. Hasil percobaan yang telah dilakukan menunjukan bahwa praktikan telah mampu menganalisis mutu ATC berdasarkan parameter-parameter yang diamati yaitu kadar air, kadar abu, kadar sulfat dan viskositas. Rendemen, kadar air dan kadar sulfat ATC air tawar lebih tinggi daripada air laut sedangkan kadar abu dan viskositas itu lebih tinggi pada ATC air laut daripada ATC air tawar.

5.2 Saran

Praktikum selanjutnya sebaiknya digunakan pengaruh perlakuan lama ekstraksi dan cara pengeringan untuk mengetahui kondisi terbaik ATC yang dihasilkan dan pengaruhnya terhadap sifat fisik dan kimia ATC.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani D. 2006. Pengolahan rumput laut (Eucheuma cottonii) menjadi tepung ATC (Alkali Treated Cottonii) dengan jenis dan konsentrasi larutan alkali yang berbeda [skripsi]. Makassar : Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanudddin

Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istiani S. 2006. Rumput laut pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Jakarta : penebar swadaya

Atmaja, W. S. Kadi, A., Sulistijo, dan Satari, R., 1996, Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia, Puslitbang Oseonologi LIPI, Jakarta

Febrina H. 2008. Kappa karaginan semimurni Kappaphycus alvarezii sebagai cryoprotectant pada surimi ikan nila (Oreochromis niloticus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Parwata P. 2007. Optimalisasi Produksi Semi-Refined Carrageenan Dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii Dengan Variasi Teknik Pengeringan Dan Kadar Air Bahan Baku. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora. Jurusan Analisis Kimia FMIPA Undiksha Bali

Sukri N. 2006. Karakteristik Alkali Treated Cottonii (ATC) dan karaginan dari rumput laut Eucheuma cottonii pada umur panen yang berbeda [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Wadli. 2005. Kajian pengeringan rumput laut menggunakan alat pengering efek rumah kaca [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Winarno FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

2 komentar:

  1. saat ini saya akan membuat tepung ATC untuk pengembangan usaha rumput pasca panen selain untuk peningkatan kesejahteran petani rumput laut juga untuk pemberdayaan ekonomi komunitas disekitaran tempat tinggal saya. dan terim kasih kami ucapkan dengan adanya artikel ditas menambah khazanah pemanfaatan KOH dan pembuataan ATC saya. an. bakri, alamat jl. s. bialo kel lembang kab bantaeng sulsel.

    BalasHapus
  2. Saat ini saya akan melakukan penelitian mengenai pengaruh faktor lingkungan budidaya terutama faktor kedalaman terhadap kualitas ATC dan nutrisi rumput laut kappaphycus alvarezii agar bisa diketahui mutu dari kualitas ATC untuk pembuatan karagenan murni. Sebagaimana yg kita ketahui bahwa kualitas rumput laut yg diekspor ke luar itu hanya dalam bentuk kering saja dan untuk pengolahan lebih lanjutnya itu masih minim sekali maka dari itu saya mau meneliti tentang hal ini agar bisa diketahui mutu karagenan rumput laut.
    Dan terima kasih saya ucapkan karena dengan adanya artikel di atas bisa membantu saya dalam penelitian saya.

    BalasHapus